Ngomongin Masalah Hidup

doc. pribadi

Hidup itu perkara lepas dari satu masalah terjerat dalam masalah berikutnya lagi.

 

Hai, Dek, gimana kabarmu di rantauan? Sehat? Capek? Masih terkaget-kaget? Ngeselin? Nakutin? Bikin pusing? Atau syukur alhamdulillah?

Apa pun yang kamu temui di kota orang sana, semoga bisa mengantarkanmu pada diri yang lebih baik dari dirimu sebelumnya.

Btw, selamat ya. Udah berani menghadapi masalah serius waktu itu. Makasih juga udah memutuskan buat bertanya lebih dulu. Makasih udah bersedia bertahan meski hati terasa berat dan rasanya mau menyerah saja. Rasanya pasti nggak enak banget. Ditambah lelah fisik dan mental. Belum lagi bonus nyinyiran ekspektasi orang lain yang memang mustahil kamu kontrol. Belajar hidup ya, Dek. Pelan-pelan aja. Semampumu.

Kakakmu setuju sih hidup itu aslinya sederhana, yang komplek itu perasaan menghadapi/menjalani hidupnya. Tapi ya namanya pendapat, bisa cocok, bisa nggak. Tergantung pilihan masing-masing individunya.

Kayak kemarin-kemarin itu kamu tanya, “Salah nggak, kalo aku pulang?” Dan kakakmu jawab, “Tergantung.” Kalau kepulanganmu untuk istirahat dari selesainya segala urusan di situ, silakan-silakan saja. Tapi kalau untuk lari dari masalah, hmm, rasanya kurang pas sih. Meskipun bisa aja diatur sebagai healing dan rehat, karena ketemu orang-orang bagi manusia kayak kita ini amat melelahkan. Butuh jeda untuk recharge dari “kebisingan” agar bisa siap kembali menghadapi semuanya.

Baca juga : Seni Memilih Jalan ‘Sulit’

Oh, iya, makasih juga kamu udah berani mengakui penyebab kepelikan kemarin itu murni sebagai kesalahanmu. Belum tentu setiap orang bersedia mengakui hal-hal semacam ini. Rasanya kerdil banget ‘kan? Dan pasti pengen menghilang dari bumi seketika itu juga. Mau ngapa-ngapain rasanya nggak enak. Wajar kok. Namanya juga lagi salah. Ngebayangin muka-muka orang lain jadi kayak singa kelaparan, hahaa. Belum lagi overthinking yang ngomong, “Apaan kamu? Segitu aja salah. Harusnya kamu kepikiran kalo hal kayak gitu salah.”, “Mulai sekarang, kamu nggak berhak menilai orang lain. Wong kamu aja salah, kok.”, “Berani-beraninya mau kritik dan komentarin orang lain. Apalagi kasih saran dan masukan.”, dan bla-bla-bla versi negatif lainnya.

Ya, emang kenapa kalo salah? Melakukan kesalahan belum tentu dosa, tapi melakukan dosa udah pasti salah. Terima aja dulu kalau posisi diri emang salah. Toh, kita menjalani hidup bukan untuk berlomba siapa yang nggak pernah salah atau yang salahnya paling sedikit. Jadi, salah mah ya salah aja. Kita mustahil kembali ke masa lalu untuk membenahi kesalahan tersebut. Cara satu-satunya ya memperbaiki masa depan. Dalam hal ini, apa sikap dan tindakan yang akan dilakukan saat tahu lagi di fase salah.

Eh, iya, sedikit hiburan, bahwa mungkin ini saatnya kamu ujian naik level, Dek. Kamu mungkin bertanya-tanya, “Kenapa aku ya Allah?” Tapi kebayang nggak kalau Allah jawab, “Kenapa nggak? Karena memang kamu yang mampu.”

“Tapi berat e,” tambahmu. Ya, siapa juga yang bilang ringan? Kalau berat, istirahat aja dulu. Me time. Ambil jeda. Kemudian let’s think again. Sisanya terserah kamu mau pilih jalan yang mana. Tapi jangan lupa, ya, kalau setiap pilihan membawa konsekuensinya masing-masing.

Jadi ingat sewaktu kita video call. Ternyata raut wajah membawa bebanmu tuh kayak gitu ya, hehee. Eh, tapi, waktu itu kamu pengen cerita nggak sih, Dek? Soalnya, malah kakakmu yang nyerocos cerita masalahnya duluan, hahaha. Maaf, ya, Dek. Sebagai gantinya, kamu dapat “rukyah” dari ibu ‘kan, hehehe.

Baca juga : Seni Membaca Peluang

Seni menghadapi masalah ya begini ini, Dek. Di satu sisi rasanya takut banget. Di sisi lain tetap ada potensi, aslinya nggak semenakutkan itu kok. Hadapi saja. Kendalikan overthinking yang mendera. Selama itu belum terjadi di depan mata, bisa jadi hanya kemelut isi kepala yang sudah kadung dirusuhin perasaan yang nggak nyaman. Merasa bersalah, malu, merasa jadi orang paling bodoh sejagad raya, sampai perasaan terhina. Itu semua wajar. Lumrah. Namun di sisi lain, boleh jadi orang lain juga merasa terbantu atas kejujuran pengakuan kesalahanmu. Urusan nggak melebar ke mana-mana. Tinggal menunggu pertanggung jawabanmu selanjutnya aja. Oh, ya, siapa tahu malah ada yang diam-diam bangga sama sikapmu yang berani mengakui kesalahan? Ya, minimal kakakmu inilah, haha.

Sedikit penyemangat—mungkin, ada analogi ringan yang bisa kakakmu bagikan. Bahwa di dalam hidup, setiap insan akan menjalani tingkat masalahnya masing-masing. Ibarat main game, ada tantangan yang harus dihadapi setiap levelnya ‘kan? Semakin tinggi level yang kamu capai, maka semakin berat juga hantaman masalahnya. Tapi, ketika kamu turun level atau menemui level yang sama dengan sebelumnya atau level stabil, bukankah itu akan terasa lebih mudah? Ya, itulah hikmah dari menyelesaikan masalah atau tantangan yang ada. Bukan untuk Tuhanmu, apalagi untuk orang lain, itu semua untukmu. Tanpa kamu sadari ada peluang untuk bertumbuh dan berkembang dalam setiap masalah yang dihadapi. Tinggal apakah kamu bersedia untuk mengambilnya atau nggak? Kembali, keputusan ada di kamu.

Menyambung kalimat pembuka di atas, nggak ada masalah berarti nggak hidup. Pahitnya sesederhana itu. Hanya perasaan jungkir balik yang berpotensi melebarkan atau mengerucutkan jangkauan si masalah yang dihadapi.

Lanjut, kamu bercerita upayamu dalam menunaikan tanggung jawab. Meski nggak langsung menuai hasil, tapi paling nggak ada kans timbal balik yang bisa kamu dapatkan. Walaupun itu berupa menunggu. Ikuti saja. Tanpa protes apalagi merengek untuk lebih cepat agar semua urusan kelar. Nggak, nggak. Nggak begitu cara mainnya. Tenangkan saja dulu hati dan isi kepalamu. Ikuti sesuai instruksi yang diberikan aja. Jika jatuh tempo waktu yang dijanjikan masih bergeming, barulah kamu bergerak kembali. Jadi, tahan dulu ya. Nikmati saja dulu perasaan gelisah yang meneror, hehee.XD

Kadang menjengkelkannya, saat suasana hati dan kepala lagi keruh-keruhnya, suka ada aja ulah tambahan setan yang memancing emosimu dari sisi perkara yang lain. Udah lagi pengen lenyap dari bumi seketika atau pergi ke tempat yang jauh, emoh bertemu orang-orang yang memicu rasa beralahmu, ini ada aja yang mancing “keributan”. Semoga sih kamu bersedia untuk diam ya, Dek. Atau paling nggak, punya “tong sampah” pribadi yang bisa sedikit menyalurkan energi negatif yang berpusar dalam diri. Kalau dipendam memang semakin menggunung dan takutnya meledak sewaktu-waktu.

Belum lagi kewajiban pun harus ditunaikan. Ya, namanya juga mengemban tanggung jawab, jadi memang harus rela mengeluarkan energi lebih dibandingkan yang lain. Hmm, mungkin gampangnya gini, kamu mau menghabiskan jatah kesulitanmu sekarang atau nanti? Dalam konteks ini, kamu memilih belajar memikul tanggung jawab, padahal kamu punya pilihan untuk menjadi biasa-biasa saja. Alias menjalani kehidupan anak mahasiswa dari sisi akademiknya aja. Namun, apa pada kehidupan masa depanmu nanti kamu nggak butuh rasa tanggung jawab? Maka dari itu, pilihan kembali ada padamu.

Kembali kemasalahmu, kamu update terus perkembangan info yang didapat. Sampai pada akhirnya kabar hilal titik terang itu datang. Syukurlah. Jadi gimana perasaanmu sekarang? Biasanya sih kayak kesiram air dingin gitu. Atau langkah kaki jadi terasa lebih ringan. Senyum mulai menghiasi raut wajah dengan mudah. Hati terasa seringan kapas. Kalau memang itu yang kamu rasakan. Selamat, ya. Kamu berhasil melewati fase sulit kali ini. Terimakasih udah mau bertahan sejauh ini.

Baca juga : Ketika Rumah adalah Tempat untuk Recharge Energi

Ingat, kamu adalah respon dan reaksimu terhadap segala sesuatu. Semoga setiap langkah dan keputusanmu bisa senantiasa mengantarkanmu untuk melihat kebesaran-Nya.

Oke, besok-besok kita deep talk dan diskusi lagi ya, Dek. Sampai ketemu di rumah.

 

Desa Ngapak, 2023年12月13日

Tinggalkan komentar