Surat Cinta untuk Laki-Laki Pertamaku

doc. pribadi

 

Jangan pernah tanya seberapa besar cintanya untukmu. Karena mungkin, tak ada gambaran yang tepat untuk menunjukkan betapa ia takut kamu jatuh ke pelukan yang salah.

 

Ini cerita tentang laki-laki yang belum pernah kamu sampaikan rasa cintamu secara verbal. Tapi uniknya, tanpa sadar kalian saling memprioritaskan satu sama lain.

 

“Wah, jaman jaya-jayanya dulu, bisa dapat orderan berlimpah.”

 

Ungkap salah seorang kawan laki-lakimu saat kamu menemani ‘tugas negara’nya.

 

Jaman jaya-jayanya…

 

Pikiranmu melayang ke tempo bertahun-tahun silam. Bahkan dua puluhan tahun lebih ke belakang. Kamu yang senang bisa menempuh jarak jauh dengan membonceng di atas sepeda mini, meski bermandi terik matahari. Jemari kecilmu menggenggam sadel sepeda kemudian beralih ke pinggang laki-lakimu dengan erat. Satu jam perjalanan lebih lamanya. Jiwa kanak-kanakmu menyebut itu sebagai petualangan yang seru. Padahal itu adalah salah satu bentuk perjuangannya demi melindungi hidupmu.

 

Ada juga bentuk ‘tamasya’ lain. Naik angkot sebelum tengah hari. Kemudian berjalan menyusuri pasar. Mencari bahan-bahan kebutuhan sekaligus menawarimu bakso rasa jawara kala itu. Padahal kamu kerap mendapat semburan saat meminta uang jajan tambahan. Namun berbeda saat momen-momen seperti ini. Laki-lakimu seakan sengaja menyediakan bugdet khusus untuk hal tersebut. Tentu saja kamu tak menolak. Berkeliling berjalan kaki sembari membawa buntelan belanjaan itu sudah sangat menguras tenaga. Perut yang sempat diisi, tetap kembali keroncongan usai menempuh ‘petualangan’ tersebut.

 

Di momen lain, kendati ia tak pernah merestui keinginanmu yang merengek meminta buku bacaan, uang sakumu tetap mengalir. Kebutuhan pokokmu berupa sandang, pangan, dan papan sukses terpenuhi. Kamu dan yang lain bahkan paham betul bagaimana tabiatnya yang akan menggerutu ketika dimintai jatah jajan tambahan. Intinya, cukup dengarkan, karena toh pada akhirnya jatah itu akan tetap keluar. Di situlah keputusan menghabiskannya langsung atau menabungnya guna belanja barang favorit menjadi pilihan pribadi.

Baca juga : Ketika Bertahan Jadi Antidepresan Terampuh untuk Menertawakan Hidup yang Kadang Sebercanda Itu

Beranjak ke momen lain, masih ingatkah kamu ketika proposalmu untuk menimba ilmu di luar kota alot mendapat restunya? Di fase sekarang, kamu bisa paham bahwa responnya dulu adalah bentuk dari kekhawatirannya akan masa depan yang akan merangkul hidupmu. Sedangkan di tempo yang sama, kamu sempat kecewa bukan? Padahal kamu sudah mencari info ke sana kemari. Laki-lakimu lebih meridhoi kalau kamu menjatuhkan pilihan pada hal-hal yang lebih rasional. Seperti ilmu yang nantinya akan mengantarkanmu pada pekerjaan umum dan pastinya dibutuhkan orang-orang. Contohnya bidang pendidikan dan bidang kesehatan. Kamu pun baper. Pasalnya, kamu sebenarnya punya alasan terselubung di balik pengajuan proposal tersebut. Sayangnya, kamu tak punya argumen tambahan yang bisa menguatkan pondasi proposalmu.

 

Sampai akhirnya—mungkin—Tuhan sendiri yang turun tangan. Celah itu terlihat. Dalam waktu beberapa detik saja, kamu harus menentukan keputusan apakah akan mempresentasikan rancangan keinginanmu atau tidak sama sekali di hadapan kawan karib laki-lakimu. Tertekan, kamu pun memilih maju dengan ‘senjata’ yang ada dalam genggaman.

 

Dan…berhasil!

 

Di luar dugaan, kawan karib laki-lakimu justru memberi dukungan. Hal tersebut membuat hati laki-lakimu lebih lentur untuk merestui langkahmu. Kamu pun berangkat dengan perasaan lega. Sedangkan di sini, laki-lakimu berusaha sekuat tenaga menghidupi kebutuhanmu di tanah rantau sana. Meski setiap kali pulang kamu hanya membawa diri, laki-lakimu tetap menyambutmu. Buktinya ragam ceritamu sanggup didengarnya. Begitu terus sampai masamu menimba ilmu selesai, kamu bahkan tetap diminta untuk stay nun jauh di sana. Kamu yang santai, mengalir saja mengikuti keputusannya.

 

Merantau beda kota ternyata membawamu pada kesempatan terbang lebih jauh lagi. Meninggalkan ibu pertiwi demi kenyamanan yang sebenarnya belum pasti. Akan tetapi, hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan dimenangkan. Walau sebenarnya arti dimenangkan di sini ada beragam versi. Namun, keputusan untuk melangkah maju tetap menjadi pilihan. Pikiranmu saat itu hanya ingin membantu keluarga. Dan hal tersebut merupakan kesempatan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk mereka.

Baca juga : Arti Diamku

Sampai seorang kawan memberitahumu sebuah rahasia kecil. Ketika laki-lakimu sempat kolabs dan dirawat inap, kawanmu dan teman-teman lain menjenguknya. Ia membanggakanmu. Kamu yang merasa tak melakukan hal besar, sekadar berbuat sebagai bentuk perwujudan ritual kebaktian, menepisnya sopan. Malu. Bukankah sudah menjadi rahasia umum jika darah daging berusaha untuk berbakti?

 

Hari-hari selanjutnya, bulan-bulan bergulir, hingga tahun pun silih berganti. Sejauh-jauhnya bangau terbang tinggi, pada akhirnya kembali ke sarangnya. Kamu pulang. Senang bisa berkumpul bersama lagi setelah sekian tahun melanglangbuana sendirian. Saatnya menata hidup kembali. Patokannya, di mana pun kaki berpijak di situlah langit dijunjung. Satu hal yang amat terasa ketika diri terbang jauh. Ada banyak keindahan ciptaan Tuhan, tapi tak sanggup kamu nikmati bersama keluarga. Ada banyak kenikmatan Tuhan yang sayangnya hanya bisa dirasakan sendiri. Kamu pun berbisik pada Tuhan, siapa tahu ada rezeki kesempatan menikmati kebesaran-Nya bersama dengan keluarga. Maaf, ngelunjak, Tuhan. Tutupmu selanjutnya.

 

Bersinergi dengan keluarga, meski tetap ada plus-minusnya, kamu tetap merasa jadi manusia paling beruntung. Kamu merasa punya kesempatan mengenal anggota keluarga lebih dekat. Kamu pikir, setiap anggota keluarga pastilah dekat satu sama lain. Namun, semakin bertambahnya usia, anggapan ini justru cenderung ke arah privilese. Tapi ya sudahlah, kamu pun tak ingin memperdebatkan hal ini. Toh, sudah menjadi keputusan sendiri untuk membersamai keluarga, seperti apa pun bentuk hubungannya.

 

Di sini, kamu mulai mendengar keluh kesah, kekhawatiran, kekecewaan, kesedihan, dan ragam rasa yang diekspresikan oleh setiap anggota. Dulu, dulu sekali, kamu kerap merasakan kepelitan laki-lakimu atas keinginanmu terhadap buku. Belum lagi cerita pengalaman lainnya. Beragam permasalahan yang belum pernah kamu alami sendiri membuatmu hanya bisa menjadi pendengar yang baik kala itu.

 

Ada juga yang mengungkapkan sisi laki-lakimu yang menyebalkan. Yakni terlihat malas-malasan dalam hal pekerjaan, belum lagi kalau urusan dapur ikut berbicara. Kamu pun mencerna sedikit demi sedikit permasalahan di balik tabir ijab kabul tersebut. Jelas mustahil kalau tak ada masalah sama sekali. Kemudian, kamu pun menemukan celah kosong sebagai ‘jembatan’. Ruwetnya urusan emosi dibarengi kondisi yang kurang tepat rasanya benar-benar kacau. Kamu tak ingin menjadi pelaku kekacauan selanjutnya. Lebih baik menjadi penghubung antara satu titik hati dengan titik hati lainnya. Merasa memiliki kelebihan sebagai individu yang senang belajar membuatmu mungkin cocok untuk ‘jabatan’ yang satu ini. Toh, kamu pun diam-diam sudah mulai menerapkannya pada si bungsu.

 

Bukannya menjadi superwoman yang kuat dalam segala hal, kamu sekadar membantu menerjemahkan sandi-sandi bahasa hati antar individu. Dengan minat dan circle luar yang berbeda-beda, amat mungkin menimbulkan gap komunikasi secara internal. Karena dalam kamus hidupmu rumah berarti keluarga, maka kamu bersedia hadir seutuhnya dalam urusan internal apa pun. Menjadikan mereka sebagai pemegang priority nomor wahid dalam hidupmu.

 

Tanpa sadar, semakin hari menghabiskan waktu bersama, ada saja ‘kulit’ yang terkelupas. Menunjukkan diri lebih utuh setiap momennya. Seperti hadirnya pemahaman, mungkin bukannya pelit, tetapi laki-lakimu berusaha sekuat tenaga menjaga keseimbangan ekonomi ‘negara’nya. Semacam menyediakan dana darurat, maka dari itu laki-lakimu begitu memilah kemana saja pemasukannya akan dikeluarkan. Lalu, bukannya bermalas-malasan, tapi laki-lakimu butuh jeda untuk melambat guna memikirkan solusi dari setiap masalah yang membelit dalam keheningannya sendiri. Sebab kamu pernah mendengar fitrah laki-laki bertanggung jawab yang tak ingin memberikan beban pikiran pada keluarganya. Demi meluruskan hal-hal yang mungkin belum dan baru diketahui, kamu pun sesekali angkat bicara. Mencoba membawa air dingin di tengah kobaran api. Walaupun kapasitasnya belum mampu untuk memadamkan secara keseluruhan.

 

Sampai di titik usiamu yang semakin berkurang jatahnya, kamu pun mulai memasuki fase dipertemukan orang-orang yang mungkin dikirim Tuhan untuk memiliki kecenderungan sebagai teman hidup. Di sini, esensi obrolan semakin meningkat. Kamu pun berusaha menjelaskan seperti apa dirimu. Tujuannya tentu agar laki-lakimu juga perlahan paham, orang macam apa yang kamu butuhkan.

Baca juga : Sudahkah Kita Mencintai Diri Sendiri?

Kamu sempat kagum pada Pak Lin. Bagaimana ia yang memiliki sikap keras, ternyata ungkapan jujurnya terkait anak perempuan semata wayangnya begitu menyentuh hati. Kejujuran Pak Lin sukses menunjukkan betapa gentle karakternya di matamu.

 

 

“Gu Wei, apakah aku bisa menyerahkan Lin Zhi Xiao padamu supaya aku tenang?”

 

“Pak Lin, sejak hari pertama aku bersama Lin Zhi Xiao, aku sudah memperlakukannya seperti istriku. Meski hidup ini tidak ada yang tahu, akan ada banyak perubahan, aku tetap berusaha sampai kearah ini. Aku, Gu Wei pasti akan melindungi putrimu dengan sisa hidupku.”

 

“Sebenarnya sering kali aku bukannya tidak menyukaimu. Xiao Xiao putriku satu-satunya. Jelas-jelas baru kemarin rasanya suster menggendongnya keluar dari kamar bersalin dan menaruhnya di pelukanku. Sekarang sekejap saja dia sudah jatuh cinta. Dia mulai menangis demi orang lain, tertawa karena orang lain, dan dalam hidupnya bahkan sudah muncul nama orang lain. Kelak dia akan dibawa pergi olehmu. Begitu memikirkan ini, aku sungguh tidak bisa ramah padamu.”

 

 

Sederhana. Tapi, kamu yakin tak pernah ada rasa yang sederhana. Kamu percaya, setiap rasa yang tercipta pada masing-masing insan adalah hasil dari pengalaman berharga mereka.

 

Tanpa disadari, reaksi dan respon laki-lakimu perlahan mengajarkanmu untuk menerima dan memberi sebanyak yang kamu bisa tanpa berpikir apakah suatu saat akan kembali atau mendapatkan balasan yang setara. Kamu sadar, tak pernah punya pilihan terhadap laki-lakimu. Kehadirannya adalah ketetapan Tuhan yang tak bisa dielak dengan cara apapun. Itulah kenapa menerimanya dalam bentuk sepaket yin dan yang karakternya adalah pilihan yang tepat untukmu.

 

Perlahan tapi pasti, kamu diam-diam berdiri untuk menjadi pelindungnya. Tak peduli layak atau tidak dari sisi gendermu, yang kamu tahu dia adalah laki-laki cinta pertamamu. Kendatipun kamu adalah individu yang belum waktunya mendapatkan cinta, tapi kamu punya pilihan untuk mencintai dan memberikannya sebanyak apa pun untuk orang-orang pilihanmu.

 

Kamu pun jadi ingat pada kisah kwartet kuntum Rosie. Juga tentang tutorial melepaskan dari pengalaman Tegar. Jika memang pada hakikatnya tak ada satu pun hal yang benar-benar manusia miliki di dunia ini, kenapa harus menumbuhsuburkan rasa kepemilikan tersebut? Dari sini kamu belajar menjadi tukang parkir. Bisa menyentuh, menjaga, serta mengatur keluar masuknya, namun semuanya hanya untuk berlalu. Sekadar titipan. Kamu pun menata emosi kembali. Pernah kamu dengar bahwa melakukan segalanya dengan porsi yang cukup dan sewajarnya akan mendatangkan ketenteraman dalam hidup. Baiklah, belajar memiliki secara pas sepertinya memang perlu dilakukan, pikirmu kemudian.

 

Keputusan tersebut mengantarkanmu pada pilihan melakukan hal terbaik apa pun agar tak ada penyesalan di kemudian hari. Bahkan untuk dirimu sendiri yang juga sedang antre giliran berjumpa dengan Rail (baca cerpen Iz & Rail). Normalisasi emosi agar logika bisa berperan aktif menentukan yang terbaik untuk dilakukan saat ini. Begitu terus setiap hari. Hingga ketetapan Tuhan selanjutnya tiba menghampiri. Nama laki-lakimu tercantum dalam daftar terbaru Rail.

 

Kejadiannya begitu cepat. Sampai detik-detik perjalananmu dipaksa pulang dari tempat kerja pun kamu sama sekali tak membayangkan bahwa ini merupakan kewajiban Rail. Lalu salah satu tetangga menghampirimu yang baru memasuki rumah sendiri. Mengatakan dengan hati-hati bahwa laki-lakimu telah dipanggil pulang ke haribaan-Nya. Spontan hatimu berkata, “Oh, akhirnya tiba juga giliranku di momen ini.” Kamu berjongkok dan memegangi lengannya yang mulai terasa dingin. Kamu mengamati wajahnya dengan saksama untuk yang terakhir kalinya.

 

Terimakasih sejauh ini telah menjadi laki-laki terbaik dalam hidup.

 

Terimakasih sudah menjadi laki-laki cool dalam mencintai keluarga dengan bahasa yang sederhana. Sesederhana, “Ayo, makan sini. Tuh, sayur dan lauknya sudah siap.”, “Udah siang, kamu udah sarapan belum? Diisi dulu dong itu perutmu.”, “Ini nasi ramesnya kok belum dimakan?”, “Kamu hari ini berangkat kerja?”, “Motornya udah dipanasi tuh.”, “Itu roknya mau pake ukuran yang mana?”, “Coba dulu nih, nanti kalo masih kegedean ya dikecilin lagi.”, “Gambarnya mau dipasang di mana?”.

 

Dari mengamati cara Tuhan memanggilnya pulang, kamu pun sangat berterimakasih. Semoga itu pertanda Tuhan memberi rahmat pengampunan dan tempat terbaik untuk laki-lakimu.

 

Tak lupa kamu pun berterimakasih pada diri yang sudah memutuskan jauh-jauh hari untuk melakukan apapun yang terbaik untuk laki-lakimu. Kamu jadi ingat, saat memutuskan itu sejatinya yang terlintas di pikiranmu, siapa tahu kamu yang akan berpulang sewaktu-waktu lebih dulu. Apapun yang terjadi, seluruh kejadian di alam semesta raya adalah milik Tuhan. Terserah Tuhan mau membolak-baliknya seperti apa. Tugasmu hanyalah berserah menerima ketetapan yang tak bisa diubah dan berikhtiar sekuat tenaga untuk ketetapan yang bisa diubah. Terimakasih untuk rahmat kesiapan hati ini, ya Allah. Tak ada penyesalan, kecuali secuil obrolan singkat kalian pagi itu. Sebelum Rail menunaikan tugasnya.

 

“Jangan khawatir, biarlah itu menjadi urusanku. Aku janji akan menyelesaikannya. Tugas Bapak di dunia sudah selesai. Sekarang beristirahatlah dengan tenang,” tuturmu dalam riuh yang senyap.

 

 

Desa Ngapak, 2023年9月26日

Satu respons untuk “Surat Cinta untuk Laki-Laki Pertamaku

Tinggalkan komentar