Seni Memilih Jalan ‘Sulit’

doc. pribadi

Jadi gimana kabarmu hari ini, Dek? Kelangsungan hidupmu aman? Sesekali rindu suka menelusup ke relung hati nggak? Kakakmu sih yes, bahkan saat menulis ini. Soalnya, mau nggak mau kan harus membongkar memori momen dua pekan kemarin ya. Pekan yang jauh—dari waktu terbitnya tulisan ini—tapi rasanya selalu seperti baru kemarin. Ya, karena nggak ada standar waktu yang pasti bagi seseorang untuk berdamai dengan sebuah rasa dalam jiwa. Mau dramatis atau nggak, waktu tetap akan bergulir maju. Lewati saja.

Mengilas balik ke momen berduka kemarin itu, sebenarnya ada hal yang kakakmu salutkan padamu, Dek. Fakta bahwa kamu pulang sendirian dan berusaha waras sepanjang perjalanan. Beberapa kali kita sudah berbincang bersama dalam momen mengenang versi masing-masing. Kita bahkan saling tersenyum dan mampu menertawakan bagian-bagian tertentu. Kemudian mencoba secara sadar mengambil sikap biasa akan rasa kehilangan yang menusuk. Namun, kakakmu masih merasa perlu untuk menanyakan bagaimana perasaan bertarungmu sepanjang perjalanan pulang kemarin? Hal ini terhindarkan lantaran khawatir efeknya jadi mendramatisir keadaan atau justru takut bingung bagaimana akan merespon dan boleh jadi malah … membuat menangis lagi.

Sebenarnya seperti apa kronologinya kalau dari sudut pandangmu, Dek? Tadinya sudah diputuskan untuk menyimpan kenyataan, tapi keputusan kakakmu yang lain memilih berterus terang saja. Kondisi sudah kadung begini. Di satu sisi agar bisa memintamu cepat pulang. Akan tetapi masalahnya di sisi lain, ada pertimbangan kekhawatiran bagaimana proses perjalanan pulangmu nanti. Berhubung sudah telanjur ya mau bagaimana lagi. Dan di luar dugaan, kamu bisa sampai dengan selamat seorang diri hingga stasiun tujuan. Kendati kamu sempat berteriak dalam chat-mu, belum lagi ditambah permohonan kami untuk membunuh kesempatan terakhirmu melihat wajah terakhir Bapak. Maaf.

Baca juga : Surat Cinta untuk Laki-Laki Pertamaku

Mencoba berbicara, terlebih membujukmu untuk merelakan kesempatan terakhir saja sudah harus meremas-remas perasaan sendiri. Sulit untuk menjaga getar pita suara tetap ajek. Begitu keputusan ditetapkan, kamu menerima meski rasa keterpaksaan meronta-ronta dalam relung hati.

Makasih, ya.

Makasih atas kerelaanmu yang besar.

Makasih juga sudah berani memilih jalan sakit ini. Jalan yang amat mungkin masih banyak ditakuti teman-teman sebayamu atau bahkan orang-orang seusia kakak-kakakmu. Betapa kematangan jiwa nggak bisa diukur berdasarkan sisa usia. Semoga segala keputusan yang kamu ambil saat ini dan kedepannya nanti mampu terus mengajarkan,  mendekatkan, dan menunjukkan padamu tentang kemahabesaran Sang Pencipta. Lalu, perlahan kamu bisa mulai memahami esensi kehidupan pemberian-Nya.

Lanjut, masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab pada kehidupan sendiri. Seperti kamu yang memilih untuk terus meliburkan diri hingga waktu pemenuhan komitmen itu terlewati. Sebuah keputusan yang telah diambil sebelum waktu ujian ini terjadi. Ya, memang ada opsi untuk melepas kesempatan. Ditambah kamu sendiri juga ternyata diruwetkan oleh persiapan kegiatan di kota rantaumu. Jika memilih terus, ini bisa menjadi momen latihan memilih keputusan secara sadar. Hal ini penting, sebab akan membuatmu mampu bertanggung jawab secara penuh atas segala konsekuensi yang terjadi nantinya.

Bisa dilihat, konsekuensi yang pertama, sebagai seseorang yang punya kuasa atas dana kegiatan, kamu pun dipaksa untuk mencoba berkoordinasi dengan temanmu secara daring. Kamu ditantang untuk belajar menge-lead seseorang guna mampu mengemban tanggung jawab dengan tenang. Itu sulit, bukan? Faktanya, kondisi mental setiap orang berbeda-beda. Dan sayangnya, itu nggak bisa dikambinghitamkan. Kamu terus berusaha, meski dalam kekusutan. Sebagai pendengar dan seseorang yang lebih lama hidup di dunia, kakakmu ini melihat adanya integritas yang mulai tumbuh dalam dirimu. Sekali lagi, makasih ya, sudah memutuskan memilih merasakan jalan sulit ini lebih awal dalam hidupmu.

Baca juga : Seni Membaca Peluang

Konsekuensi yang kedua, kamu harus siap membenahi segala chaos yang tercipta selama keabsenanmu di sana. Besar atau kecil, konsekuensi tetaplah konsekuensi. Sekarang atau nanti, pada akhirnya tetap harus dihadapi.

Beralih ke topik lain, dalam berkarya sepertinya kamu masih punya tantangan-tantangan yang perlu dan nggak perlu kamu taklukkan. Perlu, jika kamu merasa tantangan itu mewujud sebagai pengganggu/penghambat dalam prosesmu berkarya. Dan nggak perlu, jika kamu merasa aman dan nyaman selama proses mencipta karya. Apa saja itu? Ini cuma kamu yang bisa menentukannya nanti. Melihatmu bersedia berusaha saja sudah layak mendapatkan apresiasi.

Awalnya, ingin rasanya kakakmu memberikan insight rutinitas yang dipandang mampu membantu dalam proses menemukan, memenjarakan, serta mewujudkan ide sebuah karya. Namun, lagi-lagi, kamu juga berproses dengan pilihan-pilihan serta lingkunganmu. Membiarkanmu bergerak, bertumbuh dan berkembang secara insting pribadi rasanya lebih arif. Selama nilai yang kamu bawa masih selaras, rasanya itu masih aman. Nikmati saja prosesmu saat ini. Seseorang pernah berkata untuk nggak perlu mengkhawatirkan masa depan dan masa lalu diri. Namun, fokuslah pada masa sekarang. Di mana kita butuh energi besar untuk memusatkan fokus guna menentukan keputusan-keputusan terbaik di masa ini. Atau sekadar membuat keputusan yang konsekuensinya mampu ditanggung oleh diri. Perlu ratusan bahkan lebih dari ribuan kali untuk trial-error guna sampai di fase tingkatan expert. Itupun pastinya masih ada yang lebih expert lagi. Maka dari itu, kamu perlu merasakan satu demi satu setiap lapis fasenya.

Baca juga : Ketika Rumah adalah Tempat untuk Recharge Energi

Semoga kita senantiasa ingat untuk menjaga gelombang frekuensi ini ya, Dek. Cepat atau lambat, waktu tetap melaju ke depan. Nggak ada cara lain selain lakukan hal-hal yang memang harus dilakukan, meskipun itu berat dan baru mampu secara perlahan. Semoga kakak-kakakmu bisa selalu menjadi rumah yang nyaman buatmu pulang. Sisanya, hanya bisa menitipkanmu pada Tuhan. Memohon agar Ia membimbing serta senantiasa melindungimu dari segala hal yang bersifat buruk. Sampai ketemu lagi, Dek.

 

Desa Ngapak, 2023-10-10

Satu respons untuk “Seni Memilih Jalan ‘Sulit’

Tinggalkan komentar