Ternyata Menjadi Dewasa Itu…Adalah Proses Berdamai dengan Diri Sendiri

Judul Buku : Ternyata Menjadi Dewasa Itu…

Penulis : Yoga Maulana

Penerbit : Gradien Mediatama

doc. pribadi

*Blurb*

Mungkin, beberapa orang dilahirkan dalam keadaan keluarga yang jauh dari kesempurnaan. Masa kecil yang seharusnya penuh tawa, justru terkadang terasa penuh luka. Tapi, ini akan menjadi sebuah perjuangan awal bagi kita untuk mengenal bagaimana dipaksa dewasa oleh keadaan.

***

Masih terngiang bagaimana kanak-kanaknya karakter Acha dari bacaan sebelumnya, namun kini saatnya mengganti ruang imajinasi dalam kepala menjadi ruang pemahaman baru. Postingan akun tiktok dari penulis buku ini, Yoga Maulana, malang melintang dalam timeline akun tiktok bloger. Caranya menyajikan konten yang mellow dan menyentuh, memanggil perasaan curious dalam hati bloger. Buku seperti apa gerangan yang ditulisnya?

Meski sebenarnya otak bisa sedikit menebak kemungkinan tema yang diusung, tapi sajian tulisan setiap insan memberikan nuansanya tersendiri. Selain itu, topik pengembangan diri memang terasa begitu menyenangkan bagi bloger. Tema yang selalu mengajak diri untuk berbenah. Dan tema seperti ini pula yang sangat mungkin menarik keluar satu sisi bloger yang serius atau bahkan terlalu serius bagi sebagian orang. Terserah. Karena ekspektasi dan pendapat orang-orang merupakan hal yang tak kuasa bloger cegah.

Baca juga : Semesta Luruh Semesta Tumbuh

Perjuangan. Dalam benak, bloger pun terus mencoba menebak sajian tulisan setiap kali konten pria kelahiran 1999 itu muncul di beranda. Namun, perjuangan macam apa yang dilakukannya? Tema dewasa sendiri pastinya akan menampakkan bagian-bagian sulit dalam hidup. Siapa sih yang bilang menjadi dewasa itu mudah? Bahkan—maaf—orang dengan status orang tua belum tentu bisa dikategorikan ke dalam fase ini. Tema yang barangkali bagi sebagian orang terlalu melelahkan untuk diikuti. Secara, pilihan dewasa yang cenderung dikategorikan ke dalam sisi yang sulit, kemungkinan membuat orang-orang merasa berat untuk mengikuti. Masalah sendiri saja sudah berat, ini malah mau menilik masalah berat orang lain?

Seperti kata orang, menjadi dewasa itu pilihan. Ketakutan demi ketakutan terkait dunia dewasa itu bahkan kerap menghantui. Namun, perlu Sobat Readers ketahui, baru membaca bab-bab awal saja mata ini sudah berkaca-kaca. Pasalnya, selain bloger merasa mendapat teman senasib, memori bloger dilempar kembali ke masa beberapa tahun silam. Masa di mana secara tanpa sadar, saat itulah pilihan menjadi dewasa menghampiri. Masa-masa keras dan sulit yang juga … sendirian.

Yoga Maulana sejatinya berbagi kisah hidupnya yang tak seberuntung orang lain. Dia didewasakan oleh keadaan. Sampai akhirnya masuk pada fase penerimaan. Sebagai orang yang belum lama mengenal akunnya, bloger cukup kaget dengan kesulitan yang dihadapinya. Setelah mengetahui bagaimana prosesnya untuk berdamai dengan keadaan, praktis bloger tak akan merasa sama lagi dalam melihat postingannya.

Ah, membaca kisahnya membuat bloger ingin mengajak pria asal kota Gresik ini duduk bersama sambil menyesap kopi. Berbagi rasa getir kehidupan. Mengenalkan diri bahwasanya dia punya teman senasib. Hingga saat ini bloger sendiri masih berjuang untuk menjadi dewasa. Bertahun-tahun, kisah rantau bloger juga bukan hal yang nyaman. Bloger percaya kalau tanah rantau adalah tempat untuk menempa diri guna menjadi manusia. Meskipun itu bukanlah jaminan juga.

Baca juga : What’s So Wrong About Your Self Healing

Sebagai anak perempuan pertama dalam keluarga, bloger berusaha untuk belajar berdiri di atas kaki sendiri. Menjadi wanita independent bukanlah sebuah cita-cita. Susah iya, sulit iya, nelangsa iya, dan masih banyak ketidaknyamanan yang diiyakan. Ya, setiap orang butuh untuk diakui sebagai manusia. Bukan sebagai anak dari siapa. Dan proses menuju ke sana itulah yang tak akan mungkin mudah apalagi mulus.

Jadi, membaca buku ini rasanya seperti mencoba untuk berdamai dengan kisah sendiri pula. Meski memang masalah dan kesulitannya tidak bisa disamaratakan.

Buku ini sangat bisa menjadi teman duduk Sobat Readers untuk bernostalgia pada masa-masa kurang menyenangkan. Namun, bukan untuk menjadikannya sebagai beban perasaan, tapi untuk sama-sama saling menguatkan. Bahwa tidak apa-apa punya kisah tak beruntung. Tidak apa-apa punya masalah yang rumit. Bahkan, tidak apa-apa jika dunia tidak adil kepada diri sendiri. Asalkan kita mengerti bahwa kasih sayang Tuhan tiada batas.

Ini buku tipis yang menghangatkan. Mengingatkan pada diri bahwa masih banyak orang-orang yang berjuang di luar sana. Menyadarkan kembali bahwa setiap orang memiliki keputusan yang layak mendapat penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Serta menyemangati diri untuk tidak berhenti belajar. Pun betapa pentingnya ikhtiar dan menggantungkan asa pada Sang Pencipta.

Buku ini sangat recommended untuk Sobat Readers yang memiliki ketidakberuntungan dari circle terdekatnya, yaitu keluarga.

“…terkadang beberapa luka datang dari orang yang paling dekat, bahkan memiliki hubungan satu darah yang katanya saling sayang.”

Selain itu, buat Sobat Readers yang juga menyukai buku-buku dengan quote yang relate dengan kehidupan, buku ini akan membuatmu berdecak kagum sekaligus tersenyum—mungkin getir—lantaran menyadari seberapa persen keakuratannya dengan hidup sendiri.

Bergeser ke halaman berikutnya dalam buku, penulis menunjukkan sisi kesalnya pada keluarga besar dari sisi ibunya. Sungguh disayangkan, momen kumpul bersama yang seharusnya menjadi saat berbahagia justru menjadi sumber kekecewaan besar dalam hidup.

“Mereka hanya mampu menasihati tanpa bisa mendampingi. Terlalu ahli dalam menyalahkan diriku tanpa mau tahu cerita di balik kejadian ini. Setiap hari raya, aku hanya menjadi seonggok daging yang dibiarkan membangkai di sudut ruangan tanpa mau ada yang berinteraksi denganku. Bagi mereka, aku hanyalah pendosa yang tidak memiliki kesempatan untuk berubah. Pendosa yang tidak pantas untuk mendapatkan kebaikan di sekitarnya, termasuk keluarga.”

Rasanya miris dan hati ikut lara. Bloger cukup sentimentil pada bagian ini, sebab teringat pada kondisi seorang sahabat yang mirip.

Sampai pada akhirnya sebuah pemikiran itu muncul.

“Jika aku benar-benar tidak mau belajar, terjebak dengan rasa malas, dan terus-terusan membandingkan kehidupanku dengan mereka yang lebih beruntung, maka kehidupanku tidak akan pernah berubah.”

Ini sekilas mengingatkan bloger pada kondisi kuliah dulu. Di mana seorang teman yang mendapatkan uang bulanan lebih besar dari biaya kos satu tahun bloger. Jujurly, saat itu bloger yang hanya mampu mengantongi empat lembar uang seratus ribuan untuk sebulan merasa tertohok. Namun, apa lantas bloger harus menyalahkan kondisi orang tua sendiri? Haruskah bloger saat itu menyalahkan keadaan, karena dilahirkan dari keluarga tingkat ekonomi pas-pasan?

Baca juga : The Joy of Missing Out

Bahkan saat menuliskan testimoni ini pun, pandangan bloger masih memburam membaca potongan-potongan kalimat dalam buku ini.

Buku ini akan menemani Sobat Readers di masa bimbang sekaligus fase quarter life crisis. Berikut deretan kalimat dari penulis yang barangkali menggugah ‘singa tidur’ dalam diri pembaca.

“…ketika kamu merasa gagal karena orang tuamu tidak lagi mampu memberi kehidupan untuk mimpimu, ketika kamu merasa gagal karena semakin hari kamu kalah dengan teman-teman sebayamu, ketika kamu merasa gagal karena kamu tidak memiliki fasilitas lengkap seperti teman-teman seusiamu, aku mohon, jangan pernah berhenti untuk percaya bahwa kita akan “jadi”. Jangan pernah berhenti untuk mengejar mimpi yang rasanya begitu tidak mungkin.”

Akhir kata, terimakasih telah berbagi masa sulitmu, Yoga Maulana. Semoga setiap pejuang bisa selalu menyadari dan menemukan kekuatannya untuk bertahan serta melalui fase jatuhnya. Amin.

Untuk Sobat Readers, apa buku ini masuk dalam daftar bacamu selanjutnya? Buku yang berpeluang memberikan kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang. Dan tingkatan tertingginya bisa jadi membantu kita menertawakan kesialan hidup itu sendiri. Ops!

NB : Sobat Readers bisa dapatkan bukunya di sini 😉

Follow akun IG @mitoreadbooks buat dapetin teman baca✨️

Cilacap, 2022年11月16日

Satu respons untuk “Ternyata Menjadi Dewasa Itu…Adalah Proses Berdamai dengan Diri Sendiri

Tinggalkan komentar